Forum Etika Bisnis dan Profesi - AMIK JTC Semarang
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksPencarianLatest imagesPendaftaranLogin

 

 HAKI, Seniman dan Pemerintah

Go down 
PengirimMessage
wisnu

wisnu


Jumlah posting : 4
Join date : 03.04.11
Age : 46
Lokasi : Ungaran

HAKI, Seniman dan Pemerintah Empty
PostSubyek: HAKI, Seniman dan Pemerintah   HAKI, Seniman dan Pemerintah EmptySun 10 Apr 2011, 8:40 am

HAKI, Seniman dan Pemerintah
Tati sudah menyampaikan keprihatinannya itu di hadapan pada peserta diskusi ”HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) untuk Kesenian” yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Perkembangan Kebudayaan Jawa Barat Universitas Padjadjaran (P3KJB), beberapa tahun lalu. Saat itu, Tati Saleh mengungkapkan kalau ia kerap ”dipecundangi” oleh orang-orang yang dengan semena-mena menggunakan, mengubah, dan bahkan membajak karya koreografinya tanpa sepengetahuannya, serta tidak mengindahkan hukum serta etika yang ada. Perbuatan itu telah membuatnya tak bisa menikmati royalti dari karya tari dan kreasi lainnya, yang dilahirkan dengan segenap jiwa raganya. Tati Saleh bertanya, ”Apa yang harus saya lakukan?”
Di pihak lain, pemusik (alm.) Harry Roesli dan dramawan Putu Wijaya berpendirian lain. Mereka merasa bahwa dirinya tidak berkeberatan, jika karyanya dipergelarkan tanpa izin atau dibajak sekali pun. Mereka berpendapat, hasil karyanya akan menjadi lebih ”memasyarakat” apabila dinikmati banyak orang, meskipun diambil dengan cara melanggar aturan hukum dan tanpa mengindahkan etika. Sikap serupa itu banyak dianut oleh para seniman lain, khususnya seniman seni tradisional.
Para seniman umumnya berpendapat bahwa inspirasi (ilham) yang mereka dapatkan untuk membuat karya seni datang dari Sang Maha Pencipta. Jadi, apa salahnya apabila hasil karyanya kemudian dinikmati bersama? Bukankah hal itu merupakan ibadah?
Dari dua pendapat itu, bisa diperoleh kesimpulan berikut. Hak cipta (copy right), secara hukum bertujuan melindungi karya seni yang diciptakan para seniman. Kenyataannya di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, kreasi para seniman secara hukum belum dihargai sebagaimana mestinya, baik oleh masyarakat maupun kalangan seniman itu sendiri.
Kenyataan itu dapat disebabkan oleh berbagai hal. Antara lain, HaKI sebagai satu institusi hukum dirasakan belum mampu melindungi kepentingan hukum para seniman. Atau boleh jadi seniman itu sendiri merasa tidak ”membutuhkan” perlindungan HaKI. Seniman sepertinya lebih memandang keberadaan HaKI hanya dari aspek kepentingan moralitas dirinya, ketimbang keuntungan ekonomis.
Penyebab lain, walaupun seorang seniman mengetahui karyanya sudah ”digagahi” orang lain, ia tidak berdaya mempertahankan haknya. Di sisi lain, harus diakui bahwa penegakan hukum HaKI pun masih jauh dari yang diharapkan, terutama dari segi kemampuan sumber daya manusia para penegak hukumnya.
Jika dilihat secara subtantif, inti dan objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya tersebut didapat dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, ataupun teknologi yang dihasilkan atau dilahirkan manusia melalui kemampuan intelektualnya, melalui daya cipta, rasa, dan karsanya.
Khususnya menyoroti HaKI kesenian, di dalam tataran sistem sosial terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga yang saling berhubungan dan memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HaKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HaKI. Ketiga, komponen masyarakat penikmat karya para seniman.
Sebagai produk kebudayaan, HaKI kesenian tidak terlepas dari keberadaan budaya hukum suatu bangsa. Oleh sebab itu, apabila kita membahas HAKI kesenian sebenarnya tidaklah terlepas dari keberadaan HaKI sebagai sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam mencermati permasalahan HaKI kesenian di Indonesia khususnya di Jawa Barat, ketiga komponen tersebut mengandung berbagai permasalahan dan kendala yang perlu segera dicarikan solusinya.
Masalah mendasar dari komponen regulasi dan penegakan hukum HaKI bidang kesenian yang bertumpu pada UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta adalah, bagaimana menyosialisasikan perundang-undangan yang berlaku. Walau masyarakat dianggap mengetahui isi undang-undang HaKI, tetapi dalam kenyataannya pengaturan tentang HaKI masih belum memasyarakat. Khususnya di kalangan seniman, banyak di antara mereka yang belum memahami hak dan kewajiban yang berkaitan dengan HaKI.
Mereka tidak paham prosedur pendaftaran hak cipta, meskipun sesungguhnya hak cipta melekat pada karya sang seniman ketika karya tersebut ”diumumkan” kepada publik. Akan tetapi, ketika karya itu dibajak sang seniman tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan hukum.
Kebanyakan seniman juga tidak tahu, bagaimana seharusnya mendapatkan hak royalti dari karyanya. Pendek kata, seorang seniman seringkali terkucilkan dari hak-hak atas karyanya karena ketidaktahuan. Itulah sebabnya, berbagai aturan mengenai HaKI kesenian dalam berbagai perwujudannya masih harus dimasyarakatkan. Kesadaran hukum para seniman masih perlu ditingkatkan. Penyuluhan ini merupakan tugas pemerintah, organisasi profesi seniman, dan LSM yang peduli HaKI-lah.
Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimikinya merupakan pemberian Tuhan dan warisan tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme.
Sementara itu, konsep HaKI datang dari budaya Barat, yang bertitik tolak pada pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu, tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum, khususnya hukum yang menyangkut hak cipta, sangatlah minim. Terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan ”buta hukum” hak cipta. Oleh sebab itu, sosialisasi HaKI di kalangan seniman menjadi sangat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri, mengingat seniman merupakan ”masyarakat” punya kepribadian unik.
Hal yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya UU Hak Cipta. Jika seorang warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun mereka menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang UU Hak Cipta.
Masalahnya, banyak seniman tidak peduli apakah karyanya diberi royalti atau tidak, dicuri, atau dibajak sekalipun. Apalagi, saat ini fakta di lapangan, para penegak hukum belum melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pelanggaran HaKI. Dengan demikian, yang terjadi adalah orang-orang yang menguasai dunia industri kesenian (misalnya industri rekaman dalam arti luas) di Indonesia, mendapat kesempatan empuk untuk mengeruk keuntungan dari ketidakpedulian seniman dan ketidaktahuan masyarakat serta kelemahan penegakan hukum.
Dalam kondisi serupa ini, budaya HaKI sulit untuk ditegakkan. Jika kita ingin keluar dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, tak ada jalan lain bahwa ketiga komponen tersebut harus bersama-sama dibenahi dengan serius. Mudah-mudahan pada gilirannya nanti, Indonesia mendapat pengakuan dalam pergaulan HaKI yang mendunia dan berorientasi pada sistem HaKI yang terintegrasi dengan baik dalam tata hukum nasional maupun internasional.
Di akhir tulisan kecil ini penulis berharap, barangkali sebagai jalan keluar yang sangat penting adalah dibangunnya iklim koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah berkewajiban membangkitkan keinginan para seniman di daerah untuk mematenkan hasil karyanya. Pemerintah daerah seyogyanya memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif membantu para seniman yang belum ”melek HaKI” untuk mematenkan karya ciptanya. Tentu dengan mendaftarkan karya mereka ke Dirjen HAKI, seperti yang tengah dilakukan Pemda Jabar dengan mendaftarkan 15 ragam kesenian Jabar saat ini.
Gerakan yang lebih luas berupa pendidikan pemahaman hak cipta, perlu juga dilakukan di daerah-daerah. Gerakan ditujukan kepada anak-anak maupun orang dewasa, sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban menghormati karya cipta seseorang.***

Penulis, dosen Fakultas Hukum Unpad.
Kembali Ke Atas Go down
 
HAKI, Seniman dan Pemerintah
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Forum Etika Bisnis dan Profesi - AMIK JTC Semarang :: Tugas-tugas :: Tugas I : Professional organizations in the world-
Navigasi: